Tragedi Nasional dan Konflik Internal Indonesia
Kemerdekaan
yang berhasil diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 bukanlah akhir
dari perjuangan kita. Mengisi dan mempertahankan kemerdekaan merupakan
perjuangan tersendiri. Ada dua musuh yang harus dihadapi bangsa
Indonesia. Dari luar, kita harus menghadapi Belanda yang masing ingin
menjajah kembali Indonesia. Sementara itu, dari dalam kita menghadapi
beragam konflik politik dan ideologis. Ancaman Belanda bisa kita
patahkan dengan kembalinya Irian Barat. Bagaimana bangsa Indonesia
menghadapi dan menyelesaikan konflik dalam negeri?
1. Kehidupan Politik Nasional sampai Tahun 1960-an
Kedudukan Presiden Ir. Soekarno
dan TNI AD semakin kuat setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal
5 Juli 1959. Inilah periode sejarah yang dikenal dengan sebutan
demokrasi terpimpin. Presiden memegang kekuasaan mutlak untuk membentuk
front politik yang mampu menopang kekuasaannya. Di sinilah Bung Karno
dan PKI membangun kerja sama yang saling menguntungkan. Sementara itu,
TNI AD pun semakin ambil bagian dalam kancah politik setelah
dijalankannya doktrin kekaryaan (cikal bakal dwifungsi ABRI). Jenderal
A.H. Nasution membentuk badan-badan kerja sama tentara dan sipil untuk
mengimbangi manuver politik Bung Karno. PKI telah menggunakan
kedekatannya dengan Bung Karno untuk menyusun kekuatan. Konflik elite
terjadi antara TNI AD, PKI, dan Bung Karno.
a. Dampak Hubungan Pusat-Daerah
Konflik
yang terjadi di pemerintahan pusat pun berdampak ke daerah. Upaya
Nasution untuk membersihkan pemerintahan sesuai undang-undang darurat,
menyebabkan banyak pejabat yang lari ke daerah. Banyak anggota kabinet
yang menjalin hubungan dengan dewan-dewan militer di daerah.
1) Pembentukan Dewan-Dewan Daerah
Ketidakpuasan
daerah pada pemerintah pusat melatarbelakangi pembentukan dewandewan
daerah. Kolonel Achmad Husein membentuk Dewan Banteng di Padang, Sumatra
Barat tanggal 20 Desember 1956. Kolonel Mauludin Simbolon membentuk
Dewan Gajah di Medan tanggal 22 Desember 1956.
Kolonel Ventje Sumual membentuk Dewan Manguni di Manado tanggal 18 Februari 1957.
Beberapa
pejabat militer di daerah yang tidak setuju dengan kebijakan
pemerintah pusat mengadakan gerakan. Kolonel Simbolon, Kolonel Sumual,
dan Kolonel Lubis bertemu dengan PM Ali Sastroamidjojo dan Bung Hatta.
Tuntutannya adalah dilaksanakannya pemilu, diberlakukannya otonomi, PKI
dilarang, dan digantikannya Nasution. Di tengah negosiasi antara
pemerintah pusat dengan dewan-dewan tersebut, terjadi pengambilalihan
pemerintahan di daerah. Ketegangan pun muncul. Para panglima daerah
tersebut kemudian dipecat dari dinas militer.
2) Nasionalisasi Aset Belanda
Kegagalan
PBB memaksa Belanda untuk menyelesaikan masalah Irian Barat
meningkatkan ketegangan politik. Anggotaanggota PKI dan PNI serta rakyat
di berbagai daerah mengambil alih aset Belanda. Kabinet Djuanda tidak
mampu menyelesaikan kasus tersebut. Gerakan rakyat di berbagai daerah
semakin tidak terkendali. Nasution kemudian tampil dan memerintahkan
tentara untuk mengelola perusahaan Belanda yang disita. Nasution
perlahan-lahan mengendalikan panglima-panglima daerah dan TNI AD semakin
diperhitungkan.
b. Persaingan Ideologis
Dominannya
PKI dalam kehidupan politik nasional mendapat reaksi dari partai dan
organisasi lainnya. Ideologi komunisme yang dikembangkan PKI
bertentangan dengan keyakinan bangsa Indonesia. Pada bulan September
1957 Masyumi memelopori Muktamar Ulama seIndonesia di Palembang.
Muktamar mengeluarkan fatwa bahwa komunisme diharamkan bagi kaum muslim.
Muktamar juga meminta agar aktivitas PKI dibekukan dan dilarang di
seluruh Indonesia. Perdebatan Islam dan PKI pun merembet dalam
persidangan konstituante.
Perdebatan
terjadi antara pihak yang mendukung Islam dan Pancasila sebagai dasar
negara. Macetnya konstituante menyebabkan krisis pemerintahan dan
ketatanegaraan. Dengan didukung TNI, Bung Karno kemudian mengeluarkan
dekrit yang memberlakukan kembali UUD 1945. Dekrit ini selanjutnya
dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
c. Pergolakan Sosial Politik
Pada
masa demokrasi terpimpin Bung Karno menggalang kekuatan dengan
negara-negara sosialis dan komunis. Dampak kebijakan ini adalah
terbukanya kesempatan bagi PKI untuk memperkuat basis dukungan.
Administrasi pemerintahan pun menjadi tidak terkendali. Pemerintah
kurang memperhatikan aspirasi daerah dan para bekas pejuang. Terjadilah
kesenjangan antara pemerintah pusat dan daerah. Di kalangan TNI sendiri
sering terjadi perpecahan. Sementara itu, beberapa negara luar juga
turut campur tangan dalam masalah Indonesia. Akumulasi dari kondisi
tersebut mengakibatkan munculnya pergolakan di berbagai daerah.
1) Piagam Perjoangan Rakyat Semesta
Pada
tanggal 2 Maret 1957 Panglima Tentara Teritorium VII Makassar Letkol
Ventje Sumual mengumumkan darurat perang di daerahnya. Dengan pengumuman
itu maka Sumual berwenang mengambil alih seluruh kekuasaan di
Indonesia bagian timur. Letkol Ventje Sumual kemudian memproklamasikan
Piagam Perjoangan Rakyat Semesta (Permesta). Piagam Permesta tersebut
ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat di Indonesia bagian timur.
Peristiwa
tersebut benar-benar mengancam persatuan Indonesia. Amerika Serikat
terlibat dalam gerakan ini. Salah satu pilotnya (A.L. Pope) tertembak di
Ambon. Kabinet Ali Sastroamidjojo gagal mengatasinya dan tanggal 14
Maret 1957 mengembalikan mandatnya. Presiden Soekarno kemudian membentuk
Kabinet Karya dengan Perdana Menteri Ir. Djuanda.
2) Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
Pada
awal tahun 1958 terjadi pertemuan antara beberapa tokoh militer dan
sipil di Sumatra. Kolonel Simbolon, Kolonel Lubis, dan kawan-kawan
bertemu dengan Moh. Natsir, Sjafrudin Prawiranegara, Sumitro
Djojohadikusumo, dan lain-lain. Hasil pertemuan tanggal 10 Februari 1958
berupa beberapa ultimatum yaitu Kabinet Djuanda dibubarkan, Hatta dan
Hamengkubuwono IX ditunjuk membentuk kabinet sampai dilaksanakan
pemilu, dan Bung Karno harus kembali ke posisi konstitusionalnya.
Ultimatum
tersebut ditolak oleh pemerintah. Kolonel Lubis, Kolonel Simbolon,
Kolonel Acmad Husein, dan lain-lain dipecat dari dinas militer. Tanggal
15 Februari 1958 dibentuklah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI). Perdana Menteri PRRI adalah Mr. Sjafrudin Prawiranegara.
Anggota kabinetnya antara lain Moh. Natsir, Burhanuddin Harahap,
Sumitro Djojohadikusumo, dan Simbolon. PRRI juga didukung oleh Kolonel
D.J. Somba di Sulawesi Utara tanggal 17 Februari 1959. Itulah beberapa
pergolakan yang terjadi hingga awal tahun 1960-an. Upaya pemerintah
untuk menghadapi pergolakan ini dengan diplomasi dan operasi militer.
Pemerintah menggelar musyawarah nasional antara tokoh pusat dan daerah
tanggal 14 September 1957. Gerakan Permesta dihadapi dengan Operasi Sapta Marga. PRRI dihadapi dengan menggelar Operasi 17 Agustus.
2. Pemberontakan PKI dan Konflik Dalam Negeri
Doktrin komunis adalah merebut
kekuasaan negara yang sah dengan cara apa pun. Setiap peluang dan
kesempatan yang ada akan digunakan oleh orang-orang komunis untuk
mengembangkan ideologinya. Mereka akan menjalankan aksinya bagaimanapun
kondisi yang dihadapi bangsa. Ini harus kita pahami dan waspadai bersama.
Coba buka kembali sejarah pergerakan bangsa. Saat pergerakan nasional
tengah berkembang, PKI mengadakan pemberontakan pada tahun 1926/1927.
Organisasi pergerakan lainnya pun terkena dampaknya. Saat itu,
pemerintah Belanda sangat menekan kaum pergerakan.
a. Pemberontakan PKI Madiun
PKI
berkembang pesat sekitar tahun 1948. Bangsa Indonesia baru merapatkan
barisan untuk menghadapi agresi Belanda. PKI membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang terdiri atas PKI,
Partai
Sosialis, PBI, Pesindo, dan SOBSI. Front ini di bawah Amir
Sjarifuddin. Mereka merongrong keutuhan bangsa. PKI memobilisasi kaum
buruh dan rakyat untuk mengadakan pemogokan di berbagai daerah di
Indonesia.
1) Musso dan Perubahan Gerakan PKI
Gerakan
PKI semakin radikal setelah Musso kembali dari Moskow (Uni
Soviet/Rusia) pada bulan Agustus 1948. Musso bermukim di Moskow sejak
tahun 1926. Dia mengadakan perombakan di tubuh PKI dengan membentuk
Politbiro PKI. Musso berpendapat bahwa hanya orang-orang PKI yang bisa
menyelesaikan revolusi. Musso menempatkan orang-orang baru seperti D.N.
Aidit, M.H. Lukman, Njoto, dan Sudisman. Setahap demi setahap, Musso
menyerang beragam kebijakan pemerintahan Kabinet Hatta. Musso kemudian
menyampaikan gagasan-gagasannya melalui rapat-rapat raksasa. Pada
tanggal 20 Agustus 1948 berlangsung rapat raksasa yang dihadiri 50.000
orang di Yogyakarta. Musso mengemukakan pentingnya mengganti Kabinet
Presidensial menjadi Kabinet Front Nasional. Kata Musso, demi
kepentingan revolusi nasional maka Indonesia harus menggalang kerja sama
dengan dunia internasional (Soviet).
Hatta
tetap menjalankan kebijakan rasionalisasi Angkatan Perang, meskipun
mendapat serangan PKI. Rasionalisasi itu bertujuan menyingkirkan
unsur-unsur revolusioner dan progresif dalam kalangan militer serta
mempersiapkan militer dalam menghadapi perundingan mengenai militer
dengan Belanda. Kabinet Hatta mendapat dukungan dari Masyumi dan PNI
serta beberapa badan perjuangan. Musso sangat keberatan dengan kebijakan
Hatta karena banyak kadernya yang bersenjata akan terkena dampaknya.
2) Proklamasi Republik Soviet Indonesia
Konflik
ideologis antara PKI dan TNI yang didukung beragam elemen perjuangan
meningkat tajam pada tahun 1948. Berbagai insiden terjadi antara TNI dan
PKI/FDR. PKI dihadang TNI Divisi Siliwangi di bawah Kolonel A.H.
Nasution di Surakarta. PKI kemudian mundur ke Madiun dan mengadakan
pemberontakan tanggal 18 September 1948. Pemberontakan ditandai dengan
proklamasi berdirinya Republik Soviet Indonesia. Kolonel Djokosuyono
diangkat sebagai Gubernur Militer Madiun. Letnan Kolonel Dahlan sebagai
komandan komando pertempuran.
PKI menguasai Madiun dan menduduki radio Gelora Pemuda.
Propaganda
dan provokasi pun dilakukan PKI. Mereka mengatakan tentara (TNI)
sebagai kepanjangan tangan kolonial. Kabinet Hatta mereka sebut akan
menjual tanah air dan bangsa kepada Belanda. Demikianlah, PKI senantiasa
memprovokasi rakyat agar menentang pemerintahan yang sah.
3) Penumpasan PKI Madiun
Pada
tanggal 19 September 1949 sekitar dua ratus kader PKI ditangkap di
Yogyakarta. Bung Karno kemudian berpidato untuk mengecam pemberontakan
Musso. Beliau meminta kepada rakyat agar bergabung dengannya dan Bung
Hatta. Penumpasan kemudian dilakukan pemerintah dengan Gerakan Operasi Militer I. Penumpasan dilakukan oleh TNI dari Divisi Siliwangi.
Dalam
waktu dua minggu, Kota Madiun berhasil direbut kembali dari tangan
PKI. Aidit dan Lukman melarikan diri ke Vietnam dan Cina. Musso
akhirnya tewas tertembak tanggal 31 Oktober 1948. Amir Sjarifuddin dan
sekitar tiga ratus pendukungnya ditangkap oleh Divisi Siliwangi pada
tanggal 1 Desember 1948. Penangkapan kader-kader PKI pun dilakukan
pemerintah. Pemberontakan PKI Madiun di bawah Musso pun gagal.
Keinginan untuk mendirikan negara Republik Soviet Indonesia bisa
dipadamkan oleh persatuan TNI dan rakyat. Namun, ideologi komunisme
yang dibawa PKI masih laten di Indonesia.
b. Pemberontakan APRA
Pemberontakan
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) terjadi di Bandung tanggal 23 Januari
1950. Pemberontakan ini dipimpin oleh Raymond Westerling dengan
delapan ratus serdadu. Latar belakang pemberontakan ini adalah
keinginan Belanda untuk mengamankan kepentingan ekonominya di Indonesia
dan mempertahankan serdadu Belanda dalam sistem federal. Pada pagi
hari tanggal 23 Januari 1950 gerombolan APRA menyerang anggota Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS/TNI). Bahkan, Markas Staf
Divisi Siliwangi berhasil mereka rebut. Letnan Kolonel Lembong dan lima
belas pasukannya tewas setelah diserang 150 gerombolan APRA. Akibat
pemberontakan APRA ini sekitar 79 tentara APRIS tewas. Pemerintahan
Hatta mengadakan perundingan dengan Komisaris Tinggi Belanda dan
mengirimkan pasukan ke Bandung. Akhirnya, Komandan Tentara Belanda Mayor
Jenderal Engels mendesak Westerling agar pergi. Gerombolan APRA pun
berhasil dilumpuhkan oleh APRIS dengan dibantu rakyat.
c. Pemberontakan Andi Azis
Andi
Azis adalah perwira KNIL di Makassar. Saat terjadi rasionalisasi
tentara, ia bergabung dengan APRIS di Indonesia bagian timur di bawah
Letkol Ahmad Junus Mokoginta. Namun, ia bersama kelompoknya menolak
pengiriman pasukan oleh TNI ke Makassar saat terjadi pergolakan
anti-federal. Kapten Andi Azis kemudian membentuk ”Pasukan Bebas” dan
gerombolannya melakukan pemberontakan.
Makassar
berhasil mereka kuasai karena terbatasnya pasukan APRIS. Bantuan APRIS
kemudian datang dengan dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang dan Mayor
H.V. Worang. Pertempuran pecah antara tentara KNIL dan APRIS/TNI
tanggal 15 Mei 1950. Perundingan kemudian diadakan antara APRIS
(Kolonel A.H. Nasution) dan KNIL (Kolonel Pereira). Hasil perundingan
adalah akan dilakukan penjagaan bersama oleh Polisi Militer dari kedua
belah pihak. Pertempuran pecah kembali setelah perwira APRIS Letnan Jan
Ekel ditembak KNIL tanggal 5 Agustus 1950. Tentara KNIL terkepung dan
menyerah. Mereka akhirnya mau berunding tanggal 8 Agustus 1950.
Indonesia diwakili A.E. Kawilarang dan Belanda diwakili Mayjen
Scheffelaar. KNIL akhirnya meninggalkan Makassar.
d. Pemberontakan RMS
Republik
Maluku Selatan (RMS) didirikan oleh Christian Robert Soumokil. Dia
adalah bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT) semasa RIS. Latar
belakang pemberontakan RMS adalah ketidaksenangannya untuk kembali ke
negara kesatuan sesuai keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB). Untuk
memperjuangkan misinya, Soumokil mengintimidasi, meneror, dan membunuh
lawan-lawan politiknya. Misalnya terhadap Kepala Daerah Maluku Selatan
J. Manuhutu. Teror dilakukan oleh bekas pasukan Westerling yang
berjumlah dua ratus KNIL. Ketua Persatuan Pemuda Indonesia Maluku Wim
Reawaru tewas terbunuh. Pemerintah menerapkan dua cara untuk menghadapi
pemberontakan ini. Cara diplomasi ditempuh dengan mengirimkan dr.
Leimena, tetapi ditolak Soumokil. Selanjutnya, digelar Gerakan Operasi Militer III.
Operasi ini dipimpin oleh Kolonel Kawilarang. Pasukan dibagi menjadi
tiga, yaitu Grup I dipimpin Mayor Achmad Wiranatakusumah, Grup II
dipimpin oleh Letkol Slamet Riyadi, dan Grup III dipimpin Mayor Surjo
Subandrio. RMS dengan mudah dipadamkan, tetapi Letkol Slamet Riyadi
tewas tertembak dalam sebuah kontak senjata di depan benteng Nieuw
Victoria.
3. Peristiwa DI/TII
Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia (DI/TII) resmi berdiri tanggal 7 Agustus 1949. Namun, akar
sejarahnya telah ada sejak zaman Jepang, saat muncul keinginan untuk
membentuk negara berdasarkan Islam. Dewan Imamah (Penasihat) DI/TII
adalah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo.
a. DI/TII Jawa Barat
DI/TII
sempat menguasai Jawa Barat setelah Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa
Tengah akibat Perjanjian Renville. Namun, Kartosuwirjo bersama empat
ribu tentaranya tetap bertahan. Beliau bahkan mengobarkan perang suci
melawan Belanda. Pada tanggal 25 Januari 1949 terjadi kontak senjata
antara DI/TII dengan TNI. Gerakan DI/TII sulit dipadamkan karena mereka
menyatu dengan penduduk. Selain itu, gerombolan DI/TII sangat paham
dengan kondisi alam daerah Jawa Barat. Mereka tidak segan untuk
mengadakan ”teror” terhadap rakyat dan kepentingan pemerintah daerah.
Ajakan
damai pernah dilontarkan Moh. Natsir sebagai wakil pemerintah. Namun,
belum bisa meluluhkan perjuangan Kartosuwirjo. Wilayah Jawa Barat
hampir seluruhnya berada di bawah pengaruh Darul Islam. Gerakan DI/TII
mampu bertahan selama 13 tahun. Gerakan DI/TII baru berakhir setelah
Kartosuwirjo tertangkap pada bulan Juni 1962. Pasukan Kujang II/328
Siliwangi dipimpin Letda Suhanda, menangkapnya di Gunung Rakutak,
Kecamatan Pacet Majalaya, Kabupaten Bandung.
b. DI/TII Jawa Tengah
Perjuangan
DI/TII memperoleh dukungan dari Jawa Tengah. Tokoh utamanya adalah
Amir Fatah. Beliau sebelumnya adalah pejuang dan komandan laskar
Hizbullah. Selanjutnya ia berhasil mempengaruhi laskar Hizbullah yang
mau bergabung dengan TNI di Tegal. Amir Fatah kemudian memproklamasikan
diri dan bergabung DI/TII Kartosuwirjo tanggal 23 Agustus 1949. Mereka
menciptakan pemerintahan tandingan di daerahnya. Gerakan yang sama
muncul di Kebumen. Pemimpinnya adalah Mohammad Mahfu’dh Abdulrachman
atau yang dikenal dengan Kiai Sumolangu. Gerakannya juga merupakan
penerus DI/TII Kartosuwirjo dengan basis di Brebes dan Tegal. Gerakan
ini kuat setelah Batalion 423 dan 426 bergabung dengan mereka.
Pembelotan ini merupakan pukulan bagi TNI saat itu. Pemerintah kemudian membentuk pasukan Banteng Raiders untuk menghadapi gerakan tersebut. Dengan pasukan ini, pemerintah menggelar operasi Gerakan Banteng Negara. Sisasisa gerakan DI/TII di Jawa Tengah kemudian berhasil dipatahkan oleh pemerintah melalui Operasi Guntur.
c. DI/TII Sulawesi Selatan
Gerakan
DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Beliau
sebelumnya adalah pejuang bersama-sama Andi Mattalatta dan Saleh Lahade.
Mereka membentuk Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi
(TRIPS). Ide itu disetujui Panglima Besar Jenderal Sudirman tanggal 16
April 1946. Setibanya di Sulawesi Selatan, Kahar membentuk Komando
Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).
Namun,
Kahar menolak ketika pemerintah hendak mengadakan perampingan
organisasi ketentaraan. Kahar ingin membentuk Brigade Hasanuddin dan
menolak bergabung dengan APRIS. Dengan pasukan dan peralatan, Kahar
lari ke hutan pada bulan Agustus 1951. Mereka memproklamasikan diri
sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwirjo. Bahkan, mereka sering meneror
rakyat dan tentara APRIS. Gerakan ini baru bisa dipadamkan bulan
Februari 1965. Lamanya penanggulangan gerakan ini disebabkan mereka
sangat menguasai medan.
d. DI/TII Aceh
Gerakan
DI/TII di Aceh dipimpin oleh oleh Daud Beureuh. Latar belakang gerakan
ini terjadi saat Indonesia kembali ke negara kesatuan pada tahun 1950.
Beureuh tidak puas dengan status Aceh yang hanya menjadi satu
keresidenan di bawah Provinsi Sumatra Utara. Hal ini dianggap mengurangi
kekuasaannya. Beliau kemudian mengeluarkan maklumat tanggal 21
September 1953. Isinya adalah Aceh merupakan bagian dari DI/TII
Kartosuwirjo.
Gerakan Beureuh
sulit dipatahkan karena menyatu dengan rakyat dan memahami kondisi
wilayah Aceh. Beureuh berhasil mempengaruhi rakyat Aceh. Selain
menyadarkan rakyat agar percaya kepada pemerintah, TNI juga melakukan
operasi militer. Pangdam I Kolonel Jasin berinisiatif mengadakan
Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh tanggal 17–28 Desember 1962.
Daud Beureuh pun kembali ke tengah-tengah masyarakat.
Itulah
beberapa peristiwa yang sempat mengganggu jalannya pemerintahan hingga
tahun 1960-an. Ada beragam latar belakang yang menyebabkan meletusnya
peristiwa tersebut. Pemerintah melakukan perundingan dan operasi
militer untuk menghadapinya. Sebagian besar perlawanan dan permasalahan
bisa teratasi meskipun ketidakpuasan terhadap pemerintah masih muncul.
4. Keadaan Politik, Ekonomi dan Sosial Budaya Pra G30S/PKI
Krisis ketatanegaraan dan
pemerintahan yang terjadi pada tahun 1950-an memuncak dengan keluarnya
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Presiden Soekarno membubarkan
Kabinet Djuanda dan membentuk Kabinet Kerja. Presiden Soekarno juga
membubarkan DPR hasil pemilu 1955 karena menolak anggaran belanja
negara yang diajukan pemerintah. Bung Karno kemudian membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) tanggal 24 Juni 1960.
Perbandingan
keanggotaan DPRGR yang seluruh anggotanya dipilih Bung Karno adalah
nasionalis (94), Islam (67), dan komunis (81). Dengan demikian, PKI
memperoleh banyak keuntungan dari kebijakan Bung Karno. DPRGR dilantik
Bung Karno tanggal 25 Juni 1960. Tugasnya adalah melaksanakan manipol,
merealisasikan amanat penderitaan rakyat, dan melaksanakan demokrasi
terpimpin. Presiden Soekarno benar-benar menjadi inisiator dan operator
politik tunggal demokrasi terpimpin. Garis kebijakannya tentang
demokrasi terpimpin tertuang dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1959
yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita. Langkah yang ditempuh adalah membentuk Front Nasional, menggabungkan lembaga tinggi dan tertinggi negara di bawah kendalinya, serta membentuk Musyawarah Pembantu Pemimpin Revolusi (MPPR). Dampak kebijakan Presiden Soekarno bagi kehidupan bangsa dan negara sebagai berikut.
a. Kehidupan Politik
PKI
berusaha keras berada di belakang pengaruh Bung Karno. PKI senantiasa
memainkan peranan sebagai golongan yang paling Pancasilais. Gagasan
Bung Karno tentang Nasakom jelas menguntungkan gerakan PKI. Bahkan,
D.N. Aidit pada tahun 1964 berani berkata, ”bila kita telah
mencapai taraf hidup adil dan makmur dan telah sampai kepada sosialisme
Indonesia, maka kita tidak lagi membutuhkan Pancasila.” Gerakan
PKI ini dihadang golongan Islam dan TNI AD. Bahkan, sejak pembentukan
DPRGR kedua kelompok ini telah menentang secara keras.
Namun, upaya itu mendapat rintangan karena Bung Karno memang melindungi keberadaan PKI.
Kondisi politik saat itu benar-benar panas karena PKI melakukan beberapa aksi dan kerusuhan.
Konflik antara PKI dan TNI AD pun tidak terhindarkan.
b. Kondisi Perekonomian
Selama
demokrasi terpimpin Bung Karno menempatkan politik sebagai panglima.
Beragam kebijakan dan pengaturan menjadi sia-sia karena besarnya
anggaran untuk proyek-proyek mercusuar. Bung Karno saat itu sangat getol
membangun jaringan dengan negara-negara sosialis komunis. Beliau
memelopori pembentukan Conferences of the Emerging Forces (Conefo). Oleh karena itu, dibangunlah gedung Conefo yang kini menjadi gedung MPR/DPR. Untuk keperluan Games of the New Emerging Forces (Ganefo), Bung Karno membangun Istora Senayan.Selain untuk proyek tersebut,
anggaran pemerintah juga dihabiskan untuk membiayai politik
konfrontasi. Saat cadangan anggaran habis, pemerintah menghimpun
dana-dana revolusi dan memperbanyak utang luar negeri. Dampak dari
kebijakan tersebut adalah tingginya inflasi, melonjaknya harga
kebutuhan masyarakat, dan tergencetnya perekonomian rakyat. Bukan
pemandangan yang aneh apabila selama demokrasi terpimpin banyak terjadi
antrean beras dan minyak.
c. Kehidupan Sosial
Doktrin
Nasakom yang disuarakan Bung Karno mempengaruhi kehidupan sosial
kemasyarakatan. Hal ini terlihat sekali dalamkehidupan pers. Surat kabar
yang menentang Nasakom atau PKI diberedel. Misalnya Pedoman, Nusantara, Keng Po, Pos Indonesia, dan Star Weekly. Sebaliknya, surat kabar PKI merajai dunia penerbitan pers saat itu, seperti Harian Rakyat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti. Mereka juga menerbitkan surat kabar Bintang Muda, Zaman Baru, dan Harian Rakyat Minggu.
Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) milik pemerintah
didominasi oleh golongan komunis.Surat kabar milik PKI melakukan
propaganda dan agitasi terhadap lawan-lawan politiknya. Dengan jalan
itu, PKI berhasil mendominasi kehidupan sosial politik masyarakat.
Untuk memurnikan ajaran Bung Karno dari pengaruh komunis, beberapa tokoh membentuk Barisan Pendukung Soekarnoisme (BPS).
BPS diketuai oleh Adam Malik dibantu oleh B.M. Diah, Sumantoro, dan
kawan-kawan. Berdirinya BPS mendapat tekanan dari PKI. Bahkan, PKI
memfitnah bahwa BPS merupakan bentukan Amerika. Bung Karno kemudian
mendukung PKI dengan melarang kegiatan BPS.
d. Kehidupan Budaya
Saat PKI merajai kehidupan politik, semua kegiatan kebudayaan terpengaruh. Sejak tahun 1950 PKI telah membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
dengan tokoh utamanya Pramoedya Ananta Toer. Lekra dengan kejam
menindas dan meneror kaum intelektual dan sastrawan Indonesia yang tidak
mau bergabung dengannya. Pada saat yang sama, Lekra mempropagandakan
misi dan kepentingan PKI terutama berkaitan dengan penyebaran ideologi
komunis. Para mahasiswa PKI bergabung dalam Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Mereka meneror mahasiswa lain yang tidak mau bergabung.
Para sastrawan dan cendekiawan penentang Lekra membuat Manifes Kebudayaan tanggal
17 Agustus 1963. Mereka mendukung Pancasila, tetapi menolak bergabung
dengan Nasakom. Para sastrawan dan intelektual itu menghendaki suatu
kebudayaan Indonesia yang tidak didominasi oleh ideologi tertentu. Tokoh
manifes ini adalah H.B. Jassin. PKI kemudian menggunakan kekuasaan
Bung Karno untuk melarang kegiatan manifes kebudayaan. Akhirnya, Bung
Karno benar-benar melarangnya tanggal 8 Mei 1964. Bahkan H.B. Jassin
kemudian dipecat sebagai dosen di Universitas Indonesia Jakarta.
Demikianlah cara PKI menciptakan suasana yang menguntungkan kepentingan
politiknya. Mereka menempel setiap kebijakan Bung Karno dengan
membentuk lembaga-lembaga pendukung. Teror dan fitnah mereka jalankan
untuk menghadapi kelompok antikomunis. Berkat dukungan dan perlindungan
Bung Karno, PKI mampu memasuki seluruh sendi kehidupan bangsa. Oleh
karena itu, PKI tinggal menunggu waktu untuk merebut kekuasaan sesuai
dengan doktrin komunisme.
5. Peristiwa G30S/PKI
PKI merupakan partai terbesar
di dunia di luar negara komunis. Pada tahun 1964 PKI telah berubah
menjadi kekuatan yang besar dan agresif dalam perpolitikan Indonesia.
PKI mengusulkan kepada Bung Karno agar dibentuk ”Angkatan Kelima”. Yang
dimaksud PKI adalah agar rakyat yang di bawah pengaruhnya
dipersenjatai. Oleh karena itu, para gerilyawan PKI memperoleh latihan
kemiliteran di pangkalan udara Halim Perdanakusuma. Jumlah kader PKI
yang ikut kursus dan latihan hingga bulan September adalah dua ribu
orang. Mendekati akhir bulan September 1965, ribuan tentara berkumpul
di Jakarta. Orang menduga bahwa itu dilakukan untuk menyambut hari ABRI
tanggal 5 Oktober. Dengan kedudukan dan potensi itu, PKI mempersiapkan
perebutan kekuasaan. Persiapan dilakukan secara matang dilakukan oleh
Biro Khusus yang dipimpin Sjam Kamaruzzaman.
Biro Khusus menyarankan kepada
pimpinan PKI D.N. Aidit untuk mengadakan perebutan kekuasaan
(pemberontakan). Hal ini diputuskan dalam rapat pimpinan biro tersebut
pada bulan Agustus 1965. Keputusan itu ditindaklanjuti dengan rapat
rahasia secara maraton.Setelah melalui serangkaian
rapat, PKI kemudian mengambil keputusan akhir. Keputusannya adalah
komandan gerakan dijabat Letkol Untung (Komandan Batalion I Resimen
Cakrabirawa). Resimen ini sehari-hari bertugas mengawal presiden.
a. Pemberontakan G 30 S /PKI
PKI
kemudian benar-benar melakukan pemberontakan dan pengkhianatan kepada
bangsa Indonesia. Operasi pemberontakan dipimpin oleh Letkol Untung
dengan melibatkan satu batalion Divisi Diponegoro dan Divisi Brawijaya.
Mereka dibantu oleh Pemuda Rakyat PKI. Pusat gerakan di Lubang Buaya,
dekat Halim Perdanakusuma.
PKI kemudian berhasil menculik
dan membunuh para perwira TNI AD. Mereka adalah Letjen Ahmad Yani,
Mayjen R. Soeprapto, Mayjen Harjono M.T., Mayjen S. Parman, Brigjen
D.I. Pandjaitan, dan Brigjen Soetojo Siswomihardjo. Jenderal A.H.
Nasution berhasil meloloskan diri. Namun, putrinya (Irma Suryani
Nasution) dan ajudannya (Lettu Pierre Andries Tendean) tewas tertembak.
Korban PKI lainnya adalah Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun yang
mengawal rumah Wakil Perdana Menteri II dr. J. Leimena.
Selain melakukan pembunuhan,
PKI juga merebut RRI Pusat dan gedung Telekomunikasi di Jalan Medan
Merdeka. Keduanya digunakan Letkol Untung untuk menyiarkan pengumuman G
30 S. Pukul 07.20 WIB Letkol Untung mengumumkan bahwa gerakan mereka
ditujukan kepada Dewan Jenderal yang katanya mau melakukan perebutan
kekuasaan. Namun, kedok mereka terbongkar pada siang harinya pukul 13.00
WIB. Pemberontakan PKI juga berlangsung di Jawa Tengah dipimpin oleh
Kolonel Sahirman (Asisten I Kodam VII/ Diponegoro). Setelah menguasai
Markas Kodam VII/Diponegoro, mereka merebut RRI, telekomunikasi, dan
Korem-Korem di Jawa Tengah. Korem 071/Purwokerto dikuasai Letkol
Soemitro, Korem 072/Yogyakarta dikuasai Mayor Mulyono, Korem 073/
Salatiga dikuasai Letkol Idris, dan Brigif 6 dikuasai oleh Kapten
Mintarso.
Akibat pemberontakan ini,
Danrem 072 Kolonel Katamso dan Kasrem 072 Letkol Sugiyono diculik dan
dibunuh secara keji. PKI juga membunuh para perwira TNI AD di lingkungan
Brigade Infanteri 6/Surakarta dan merebut RRI, telekomunikasi, bank
negara, dan mendukung G 30 S/PKI. Rakyat Surakarta benar-benar ketakutan
dengan teror PKI.
b. Penumpasan G 30 S/PKI
Penculikan
dan pembunuhan para jenderal oleh PKI segera tersiar. Panglima Komando
Strategi Cadangan TNI AD (Pangkostrad) Mayjen Soeharto segera
mengambil alih komando TNI AD. Sesuai tradisi di lingkungan TNI AD
apabila Men/Pangad berhalangan segera digantikan oleh Pangkostrad.
Mayjen
Soeharto mengoordinasi penumpasan mulai tanggal 1 Oktober 1965.
Pasukan Resimen Para Komando TNI Angkatan Darat (RPKAD) dipimpin Letkol
Sarwo Edhie Wibowo merebut RRI dan gedung Telekomunikasi. Jakarta
dengan mudah bisa direbut TNI. Mayjen Soeharto kemudian mengumumkan
telah terjadinya perebutan kekuasaan oleh Gerakan 30 September.
Pengumuman dilakukan pukul
20.00 WIB tanggal 1 Oktober 1965. Beliau juga mengumumkan bahwa
Presiden Soekarno dan Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution dalam
keadaan selamat.
Antara Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan kepolisian sepakat untuk menumpas G 30 S.
Operasi kemudian dilanjutkan ke kawasan Halim Perdanakusuma. Kawasan
ini merupakan basis PKI yang pernah digunakan untuk melatih Gerwani dan
Pemuda Rakyat. Kawasan ini dengan mudah dikuasai kembali pukul 06.10
tanggal 2 Oktober 1965. Operasi kemudian dilanjutkan untuk menemukan
jenderal-jenderal korban penculikan. Jenazah keenam perwira TNI AD
ditemukan di dalam sumur tua di Lubang Buaya. Penemuan ini berkat
petunjuk Ajun Brigadir Polisi Sukitman yang berhasil meloloskan diri
dari penculikan PKI. Setelah disemayamkan di Markas Besar TNI AD,
jenazah keenam pimpinan TNI AD tersebut dimakamkan di Kalibata
bertepatan dengan hari ABRI tanggal 5 Oktober 1965.
Upaya penumpasan terhadap
sisa-sisa G 30 S/PKI terus dilakukan. Sementara itu, rakyat
mengekspresikan kemarahannya dengan membakar kantor PKI di Kramat Raya.
Demonstrasi dan aksi mahasiswa anti-PKI pun mulai berlangsung di
Jakarta. Pada tanggal 9 Oktober 1965.
Kolonel A. Latief berhasil
ditangkap di Jakarta. Letkol Untung juga berhasil ditangkap di Tegal
tanggal 11 Oktober 1965 saat hendak melarikan diri ke Jawa Tengah. Jawa
Tengah merupakan basis kedua PKI setelah Jakarta. Penumpasan dipimpin
oleh Pangdam VII/Diponegoro Brigjen Surjosumpeno dengan dibantu RPKAD.
Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo membentuk Komando Operasi Merapi dan berhasil menembak para pimpinan pemberontak.
Ketua PKI D.N. Aidit tertangkap
tanggal 22 November 1965 dan Jawa Tengah berhasil dibersihkan dari
pemberontak pada bulan Desember 1965. Operasi penumpasan PKI juga
dilakukan di Blitar, Jawa Timur. Sisa-sisa G 30 S/PKI berhasil
diringkus dengan Operasi Trisula yang dilancarkan mulai tanggal 3 Juli 1968. Sekitar 850 kader PKI berhasil ditangkap, 13 orang di antaranya adalah anggota Central Comite PKI Pusat. Operasi Kikis dilaksanakan
TNI di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sekitar dua ratus kader
PKI juga berhasil ditangkap. Sementara itu, sisa-sisa PKI mendirikan Merapi Merbabu Complex (MMC). Namun, dalam operasi TNI di daerah ini berhasil ditangkap tokoh Biro Khusus PKI yang bernama Pono.